Analisis perbedaan kekuatan hukum mengikat Formell Gesetz dan Jenis Peraturan Perundangan Lainnya (sesuai Pasal 8 ayat (1) UU 12/11)

Hans Nawiaski
Hans Nawiaski mengatakan bahwa setidaknya ada empat (4) norma hukum, yang tersusun secara berlapis dan berjenjang, di antaranya adalah Formell Gesetz. Formell Gesetz sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Formell Gesetz merupakan produk dari kewenangan legislatif yang dapat berbentuk atas norma hukum tunggal maupun berpasangan serta merupakan sumber dan dasar dari pembentukan Verordnung & Autonome Satzung. Contoh dari norma ini adalah undang-undang.

Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar ( grundnorm). Sedangkan Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Adanya pengujian peraturan perundang-undangan ini, juga berkaitan dengan adanya hieraki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah kabupaten/Kota (Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Di Indonesia, pengujian terhadap paraturan perundang-undangan itu dijalankan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) dan Pasal 24 A Ayat (1) UUD 1945, MK menguji undang-undang, sedangkan MAmenguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jadi, ada model dualisme pengujian dalam hal ini.
Adanya dua lembaga yang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan diIndonesia mengakibatkan beragam persoalan, terutama dalam hal kepastian hukum, kewibawaan kelembagaan, dan kekosongan hukum. Dari sisi kepastian hukum, putusan mana yang harus diikuti, putusan Mahkamah Agung atau putusan Mahkamah Konstitusi. Ketika Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang, sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang batu ujinya adalah obyek pengujian Mahkamah Konstitusi, bukan berarti kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi dibandingkan Mahkamah Agung.
Contohnya adanya pro dan kontra mengenai putusan MA Nomor 15 P/HUM/2009 dan Nomor 16 P/HUM/2009 dengan putusan MK No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009. Dimana KPU tidak menjalankan putusan MA walaupun putusan MA telah dibacakan lebih dahulu. Hal tersebut juga akan terjadi apabila KPU menjalankan putusan MK dan menyampingkan putusan MA.

Sistem pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia mengisyaratkan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat digugat atau dimohonkan pengujiannya karena:
1.Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-UndangDasar 1945;
2.Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan denganUndang-Undang Dasar 1945; atau
3.Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang.

Komentar