Batas Usia dan Kelayakan Pernikahan: Perspektif Hukum Adat dan Undang-Undang

 

HUKUM ADAT
Menurut Hukum Adat, seseorang telah dianggap cakap apabila sudah dewasa. Adapun cakap berkaitan dengan kemampuan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hukum, sedangkan dewasa berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam bertahan hidup secara mandiri atau menopang hidup sendiri tanpa bergantung pada orang tua. Pemahaman dewasa menurut hukum adat sangatlah subjektif tidak bergantung pada patokan umur.

Dalam Ketentuan Perundang-Undangan terdapat perbedaan pada masing undang-undang terkait cakap dan batasan usia dewasa. Perbedaan pada setiap undang-undang ini menunjukkan bahwa terdapat latar belakang dan pandangan masing-masing dalam melakukan pendekatan, meskipun demikian dalam suatu keadaan tertentu antara beberapa ketentuan hukum tersebut akan saling bertemu/ bertautan.

Adapun berdasarkan contoh kasus diatas, seorang laki-laki dan seorang wanita yang keduanya berusia 18 tahun ingin melangsungkan pernikahan. Dalam hal ini mereka masing-masing sebelumnya belum pernah melakukan pernikahan. Pertanyaannya, bagaimanakah ketentuan yang berlaku bagi mereka untuk mengukur pantas atau tidak mereka melangsungkan pernikahan berdasarkan batas usia?. Oleh karena itu, jawabannya akan saya paparkan sebagai berikut.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, menurut pendapat saya ketentuan yang dapat dipergunakan dan berlaku untuk mengkaji permasalahan tersebut kaitannya dengan mengukur pantas atau tidak mereka melangsungkan pernikahan berdasarkan batas usia adalah menurut 2 perspektif yakni Hukum Adat dan Ketentuan Perundang-Undangan.

1. Menurut Hukum Adat
Dalam Hukum Adat, tidak dikenal adanya batasan usia tertentu bagi seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan. Hal ini tak jarang juga membuat Hukum Adat memperbolehkan perkawinan di bawah umur yakni perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika masih berusia kanak-kanak. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya nilai-nilai tertentu yang dianut oleh Masyarakat Adat dimana perkawinan dimaknai bukan hanya persatuan kedua belah pihak mempelai namun merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan anak-anak tidaklah menjadi sebuah permasalahan bagi mereka, hal ini dikarenakan kedua suami istri tersebut masih akan tetap dibimbing oleh keluarganya dimana dalam hal ini telah menjadi dua keluarga sehingga Hukum Adat tidak melarang adanya perkawinan kanak-kanak.

Akan tetapi meskipun tidak terdapat batasan usia yang mutlak menurut Hukum Adat mengenai batas usia perkawinan seseorang , idealnya seseorang baru dapat melangsungkan perkawinan apabila ia telah dewasa. Dalam hal ini definisi dewasa menurut Hukum Adat tidak mengacu pada jumlah usia tertentu melainkan dilihat secara konkrit pada keadaan diri orang tersebut.

Menurut Soepomo dalam buku Adat Privaatv Recht Van West Java menulis tentang ciri-ciri seseorang yang dianggap telah dewasa, yakni apabila orang yang bersangkutan sudah:
a. Kuat Gawe (mampu bekerja sendiri);
b. Cakap mengurus harta benda dan lain-lain keperluan sendiri;
c. Cakap melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu.

Sedangkan menurut Ter Haar dalam buku Beginselen En Stelsel Van het Adatrecht menyatakan “Menurut hukum adat yang dimaksud dengan dewasa, baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan orang tua. Jadi, bukan asal sudah kawin saja.” Maksudnya adalah seseorang yang tidak menjadi tanggungan orang tua jika ia sudah hidup tidak tergabung dengan orang tua, misalnya menempati rumah sendiri meskipun di pekarangan orang tuanya atau menempati bagian dari bangunan rumah orang tuanya. Singkatnya, sudah mengurus biaya hidupnya secara mandiri dan tidak lagi dibiayai oleh orang tuanya.

Perlu untuk diketahui juga bahwa aturan-aturan Hukum Adat mengenai perkawinan di tiap daerah juga berbeda karena tergantung pada sifat kemasyarakatannya, adat istiadat, agama, dan kepercayaan yang tentu berbeda-beda. Tentunya hal tersebut tidak lepas dari keterkaitan budaya hukum atau kultur hukum yang menjadi gambaran dari perilaku sikap terhadap hukum serta keseluruhan dari faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum itu mempengaruhi tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat.

Kesimpulan: Oleh karena itu, seorang laki-laki berusia 18 tahun yang akan melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita berusia 18 tahun dan keduanya sama-sama belum menikah dianggap pantas oleh hukum adat, karena dalam hukum adat tidak dikenal adanya batasan usia untuk melangsungkan pernikahan. Meskipun idealnya pernikahan dilakukan ketika seseorang sudah dewasa dalam artian dapat hidup secara mandiri, sudah memiliki pekerjaan, dan tidak bergantung lagi pada orang tuanya. Kaitannya dengan pernikahan bawah umur di beberapa daerah tertentu tetap diperbolehkan sesuai dengan hukum adatnya dan sebagian yang lain ada yang melarang pernikahan bawah umur.

2. Menurut Ketentuan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi salah satu instrumen hukum yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan di negara Indonesia yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun perubahan tersebut berkaitan dengan beberapa ketentuan salah satunya batasan umur seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”, hal ini mengindikasikan bahwa seorang pria dan seorang wanita yang menikah di bawah umur 19 tahun tergolong dalam pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas usia perkawinan pada hakikatnya disebut masih berusia muda atau anak-anak seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 khususnya Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Hal ini jelas apabila melangsungkan perkawinan maka secara tegas dinyatakan sebagai perkawinan di bawah umur.

Sebelum UU Perkawinan yang lama diubah, dulu ketentuan batas usia untuk melangsungkan pernikahan bagi pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun sesuai bunyi yang terdapat dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

Dalam hal terjadi penyimpangan ketentuan umur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang, maka dapat dimintakan dispensasi ke Pengadilan dengan alasan mendesak (keadaan tidak ada pilihan lain sehingga harus dilaksanakan perkawinan). Adapun permintaan dispensasi ini harus dilengkapi dengan melampirkan dan menunjukkan bukti-bukti pendukung yang cukup seperti surat keterangan usia di bawah 19 tahun dan surat dari tenaga kesehatan yang yang mendukung bahwa perkawinan tersebut harus segera dilakukan.
Hal ini berlaku untuk anak di bawah umur, sering disebut dengan dispensasi kawin. Anak yang telah mendapatkan dispensasi kawin boleh melaksanakan perkawinan meskipun di bawah umur. Anak tersebut dianggap telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum, singkatnya ia sudah tidak berada di bawah pengampuan orang tuanya lagi.

Kesimpulan: Oleh karena itu, seorang laki-laki berusia 18 tahun yang akan melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita berusia 18 tahun dan keduanya sama-sama belum menikah dianggap tidak pantas oleh Ketentuan Perundang-Undangan karena dalam Ketentuan Perundang-Undangan dikenal adanya batasan usia untuk melangsungkan pernikahan yakni 19 tahun. Meskipun begitu, terdapat pengecualian bagi mereka yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan tersebut dengan melakukan permohonan dispensasi kawin yang ditujukan ke Pengadilan.

Referensi :
  • Siombo, Marhaeni Ria dan Wiludjeng, JM. Henny. 2024. Hukum Adat Edisi 2. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
  • Hasibuan, S. Y. (2019). Pembaharuan hukum perkawinan tentang batas minimal usia pernikahan dan konsekuensinya. Teraju: Jurnal Syariah dan Hukum, 1(02), 79-87.
  • Sarwani, N., & Musip, M. (2022). Batasan Maksimal Usia Perkawinan Perspektif Hukum Adat Dalam Membangun Keharmonisan Keluarga. El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga, 5(1), 170-182.
  • Choirunnisa, W. S., & Khusna, E. N. (2022). Analisis Perkawinan di Bawah Umur menurut Hukum Adat dan Hukum Perkawinan Indonesia. Al-Hakam Islamic Law & Contemporary Issues, 3(1), 1-8.
  • Amri, A., & Khalidi, M. (2021). Efektivitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Terhadap Pernikahan Di Bawah Umur. Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-Undangan Dan Pranata Sosial, 6(1), 85-101.
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  • Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Komentar