Undang-UndangNomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga mengakui hukum adat,
khususnya terkait pengelolaan tanah adat (hak ulayat). Eksistensi hukum adat
sangat kuat dalam konteks kepemilikan dan pengelolaan tanah, adat istiadat,
serta beberapa aspek kehidupan masyarakat adat lainnya, seperti perkawinan,
warisan, dan penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 dijelaskan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan perundang-undangan ini dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
Eksistensi
hukum adat dalam pengaturan perundangundangan hanya merupakan pengakuan secara
formal semta, akan tetapi dalam kenyataannya dilapangan hukum adat hanya
sebagai hukum yang ada selaras dengan kehidupan manusia. Dengan ciri dan
sifatnya sebagai hukum yang tidak tertulis, menempatkan hukum adat sebagai
hukum dengan posisi lemah dibandingkan dengan hukum positif tertulis lainnya.
Keberadaan
hukum adat dalam ketata-negaraan Indonesia perlu dipertahankan dan diperkuat
eksistensinya sebagai sebuah komponen hukum yang hidup dan tumbuh yang
tidak terpisahkan dari jiwa dan kehidupan masyarakat Indonesiasaat ini.
Penguatan implementasinya wajib bagi negara
Indonesia karena selain sebagai identitas
bangsa, hukum adat juga merupakan ground living law yang
tumbuh dan hidup jauh sebelum
Indonesia ini menjadi sebuah negara. Selain itu, penguatan
implementasi eksistensi hukum adat dalam ketatanegaraan
di Indonesia kedepan sebagaimana yang tertuang
dalam UUD NRI 1945 pasal 18b ayat (2) adalah
dengan mendorong pemerintah dalam hal ini
presiden untuk membentuk lembaga/badan
khusus yang menangani keberadaan masyarakat
hukum adat, memaksimalkan peran Dewan
Perwakilan Rakyat untuk merumuskan RUU semisal
Omnibus law untuk menghimpun semua
aturan baik berupa UU, putusan Mahkamah konstitusi
maupun peraturan daerah yang memuat tentang
hukum adat, mengkolektifkan pemikiran
yang sama antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkmah
Agung dalam merumuskan putusan-putusan
pengadilan untuk menguatkan eksistensi hukum adat dan
mendorong pemerintah daerah dalam membuat
kebijakan berbasis pelestarian, penguatan dan
perlindungan hukum adat demi
tercapainya kesejahteraan melalui upaya pariwisata,
pengkajian ilmu pengetahuan dan investasi. Yang
terakhir adalah memberi ruang perguruan tinggi
yang seluas-luasnya dalam
melakukan kajian ilmiah maupun akademik terhadap
eksisntensi hukum adat yang masih hidup,
tumbuh dan berkembang maupun yang
sebaliknya. Serta memaksimalkan peran
organisasi atau komunitas
masyarakat hukum adat sebagai control of lawterhadp
negara dalam merumuskan kebijkan hukum yang bersentuhan dengan hukum adat.
Contoh :
Sultan
Ground (Tanah Sultan) adalah
tanah yang dimiliki oleh Kesultanan Yogyakarta dan dikelola oleh keraton. Tanah
ini tidak boleh diperjualbelikan, dan penggunaannya harus mengikuti ketentuan
adat yang ditetapkan oleh pihak keraton. Biasanya, Sultan Ground dipinjamkan
kepada masyarakat untuk digunakan sebagai lahan pertanian atau pemukiman, namun
hak kepemilikannya tetap berada di bawah otoritas Sultan.
Sumber :
a) Pasal
18B Ayat (2) UUD 1945
b) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
c) La Ode
Dedihasriadi. (2023). PENGUATAN EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM KETATANEGARAAN DI
INDONESIA. JURNAL RECHTENS, Vol. 12, No. 1. 49-66.
Komentar
Posting Komentar