Hukum adat di Indonesia memiliki beragam ketentuan
terkait dengan harta warisan dalam konteks perkawinan, yang berbeda-beda
tergantung pada daerah dan suku yang bersangkutan. Di bawah ini saya akan
memberikan contoh mengenai bagaimana harta warisan diatur dalam harta
perkawinan berdasarkan hukum adat di dua daerah yang berbeda: Jawa dan
Minangkabau.
1. Hukum Adat Jawa
Di Jawa, hukum adat yang mengatur harta perkawinan dan
warisan dikenal dengan istilah "hukum adat Jawa" yang sering merujuk
pada sistem hukum yang dipengaruhi oleh prinsip patrilineal dan patrilokal—di
mana pewarisan harta lebih cenderung mengikuti garis keturunan ayah (paternal)
dan seringkali harta warisan akan dikelola oleh pihak pria atau suami dalam
keluarga.
Menurut hukum adat Jawa, apabila seorang pria yang
telah menikah menerima harta warisan dari orang tuanya, maka harta warisan
tersebut tidak otomatis menjadi bagian dari harta bersama (harta perkawinan).
Harta warisan tersebut akan tetap dianggap sebagai harta milik pribadi suami
dan tidak tercampur dengan harta bersama yang digunakan untuk kebutuhan
keluarga. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum adat Jawa yang membedakan antara
harta warisan dan harta bersama.
Misalnya, seorang pria di Jawa yang telah menikah dan
menerima warisan tanah dari orang tuanya. Tanah tersebut tetap menjadi harta
pribadi suami dan tidak menjadi milik bersama istri. Namun, jika tanah tersebut
digunakan untuk mendirikan rumah keluarga atau digunakan untuk tujuan bersama
lainnya, maka sebagian hak istri dalam hal ini bisa dipertimbangkan meski
status hukum tanah tetap di tangan suami.
Suku Minangkabau, yang menganut sistem hukum adat
matrilineal, memiliki pengaturan yang sangat berbeda dalam hal harta warisan
dan harta perkawinan. Dalam masyarakat Minangkabau, harta warisan akan lebih
terkait dengan garis keturunan ibu (matrilineal), dan ini memiliki implikasi
penting terhadap pembagian harta dalam perkawinan.
Di Minangkabau, apabila seorang pria menerima warisan
dari orang tuanya, maka harta warisan tersebut akan dianggap sebagai harta
pribadi pria tersebut. Namun, berbeda dengan hukum adat Jawa yang bersifat
patrilineal, dalam masyarakat Minangkabau, harta warisan yang diterima oleh
pria tidak serta-merta menjadi bagian dari harta bersama dengan istri, karena
harta bersama lebih banyak didasarkan pada hasil usaha bersama selama
perkawinan.
Dalam beberapa kasus, apabila suami dan istri sepakat,
harta warisan bisa digunakan bersama untuk tujuan keluarga, misalnya untuk
membeli rumah atau investasi lainnya. Dalam hal ini, meskipun harta warisan
tersebut tetap di bawah kepemilikan suami secara hukum adat, tetapi nilainya
bisa dianggap sebagai kontribusi bersama dalam bentuk harta pusaka yang
digunakan untuk kebutuhan keluarga.
Suku Batak, khususnya dalam tradisi hukum adat Batak
Toba, mengatur harta warisan dan harta perkawinan dalam sistem patrilineal atau
keturunan ayah. Harta warisan yang diterima oleh pria, khususnya warisan tanah
atau rumah dari orang tua laki-laki, akan tetap menjadi harta milik pribadi
pria tersebut dan tidak otomatis menjadi bagian dari harta bersama dalam
perkawinan.
Pada prinsipnya, hukum adat Batak Toba cenderung
membedakan antara harta pribadi dan harta bersama. Warisan yang diterima oleh
seorang pria dari orang tuanya adalah harta pribadi yang tetap berada di tangan
pria tersebut. Meskipun demikian, harta tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan
keluarga bersama, dan jika digunakan secara bersama-sama untuk kepentingan
keluarga, maka penggunaan harta tersebut bisa dianggap sebagai kontribusi dalam
kehidupan rumah tangga.
Seorang pria Batak yang menerima harta warisan berupa
tanah dari orang tuanya, dan tanah tersebut digunakan untuk mendirikan rumah
tempat tinggal bersama keluarganya. Dalam hal ini, meskipun tanah warisan tetap
menjadi harta pribadi pria tersebut, rumah yang dibangun di atas tanah tersebut
bisa dianggap sebagai harta bersama karena digunakan untuk kepentingan bersama.
Secara umum, hukum adat di Indonesia memiliki
perbedaan yang signifikan terkait dengan bagaimana harta warisan dikelola dalam
perkawinan. Di daerah dengan sistem patrilineal seperti Jawa dan Batak, harta
warisan yang diterima oleh suami biasanya tetap menjadi harta pribadi suami,
meskipun dalam prakteknya bisa dipergunakan untuk kebutuhan keluarga.
Sebaliknya, di daerah dengan sistem matrilineal seperti Minangkabau, meskipun
harta warisan diterima oleh pria, tetapi pengaturan harta perkawinan lebih menekankan
pada usaha bersama yang dilakukan selama perkawinan tersebut.
·
Marhaeni Ria Siombo, H. W. (2024). Hukum
Adat. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.
·
Situmorang, M. M. (2017). Tradisi dan
hukum adat Batak Toba: Sebuah kajian tentang harta warisan dan keluarga.
Penerbit Mutiara.
·
Suharto, R. (2017). Sistem matrilineal
dalam masyarakat Minangkabau: Pengaruhnya terhadap pengaturan harta warisan dan
perkawinan. Penerbit Mutiara Press.
·
Suwito, A. (2015). Hukum adat dan sistem
kekeluargaan Jawa: Pembagian harta warisan dalam tradisi patrilineal. Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Komentar
Posting Komentar