Hukum Adat: Ciri, Sifat, dan Relevansi dalam Kehidupan Modern

 

Hukum adat adalah hukum asli masyarakat yang mencerminkan budaya bangsa Indonesia, mempunyai corak khas yang berbeda dengan negara-negara lain. Sistem hukum adat berdasar pada alam pikiran da budaya bangsa Indonesia.

Berikut merupakan ciri dan sifat hukum adat sebagai pencerminan jiwa masyarakat adat, yaitu:

a) Ciri Kebersamaan (Komunal)

Hukum adat mencerminkan sifat komunal masyarakat Indonesia, di mana individu dianggap sebagai bagian integral dari komunitas. Hubungan antaranggota masyarakat didasarkan pada rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-menolong, dan gotong royong. Kepentingan individu selalu diselaraskan dengan kepentingan umum, sehingga hak-hak pribadi dijalankan dengan memperhatikan fungsi sosialnya. Dalam pandangan hukum adat, individu hidup untuk mengabdi kepada masyarakat, dan pengabdian ini tidak dianggap sebagai beban, melainkan kewajiban alami. Ciri kebersamaan ini tetap hidup dalam masyarakat Indonesia hingga kini, membedakannya dari masyarakat Barat yang lebih individualis.

b) Ciri Konkret (Visual) dan Kontan (Tunai)

Hukum adat Indonesia memiliki ciri konkret (visual) dan kontan (tunai) yang mencerminkan jiwa masyarakat. Ciri konkret berarti hubungan hukum dilakukan secara nyata dan terbuka, seperti dalam jual-beli yang melibatkan pemindahan benda secara langsung. Berbeda dengan hukum Barat, hukum adat menekankan kejelasan dan wujud nyata dalam setiap tindakan hukum, misalnya panjer dalam jual-beli atau paningset dalam pertunangan.

Ciri kontan berarti setiap prestasi dalam perjanjian harus langsung diikuti dengan kontra prestasi, misalnya pembayaran langsung saat penyerahan barang. Dalam hukum adat, perbuatan hukum dianggap selesai setelah pelaksanaan konkret dan kontan, mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, dan keterbukaan masyarakat Indonesia.

c) Terbuka dan Sederhana

Hukum adat Indonesia bersifat terbuka dan sederhana. Sifat terbuka memungkinkan hukum adat menerima pengaruh luar, seperti tradisi Hindu dalam perkawinan atau Islam dalam hukum waris, selama tidak bertentangan dengan nilai dasarnya. Sifat sederhana mencerminkan kehidupan masyarakat yang bersahaja, tanpa administrasi rumit, dan berlandaskan kepercayaan, seperti transaksi lisan atau pembagian warisan tanpa dokumen tertulis.

Hukum adat melihat masyarakat sebagai paguyuban, di mana manusia saling menghargai, menjaga hubungan damai, dan menyelesaikan konflik melalui kompromi demi keharmonisan bersama. Sebagai bagian dari alam, hukum adat memadukan berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, dan hukum) dalam satu kesatuan yang harmonis, mencerminkan jiwa kosmis masyarakat Indonesia.

d) Ciri Musyawarah dan Mufakat

Ciri musyawarah dan mufakat dalam masyarakat adat Indonesia menekankan pentingnya keputusan bersama yang dicapai melalui dialog damai, rukun, dan saling pengertian. Musyawarah mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, dengan semangat kebersamaan. Jika ada perbedaan pendapat, warga akan bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama.

Musyawarah dan mufakat mencerminkan nilai asli masyarakat Indonesia yang berbeda dari pengambilan keputusan melalui voting, yang merupakan pengaruh budaya luar. Namun, voting dilakukan jika musyawarah tidak menghasilkan mufakat, dan hal ini kini juga diterapkan dalam hukum positif serta lembaga-lembaga formal di Indonesia.

Ciri dan sifat hukum adat sebagaimana dijelaskan sebelumya masih dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat modern di Indonesia, meskipun dalam beberapa aspek mengalami adaptasi dengan perkembangan zaman. Berikut analisisnya:

a) Ciri Kebersamaan (Komunal)

Nilai kebersamaan dan gotong royong masih hidup, terutama di pedesaan dan komunitas adat. Tradisi seperti kerja bakti, arisan, atau saling membantu dalam acara keluarga masih sering ditemui. Namun, di kota-kota besar yang cenderung lebih individualistis, nilai ini melemah tetapi tetap terlihat dalam solidaritas sosial, seperti gotong royong dalam membantu korban bencana.

b) Ciri Konkret (Visual) dan Kontan (Tunai)

Dalam kehidupan modern, sifat konkret dan kontan bertransformasi dalam transaksi yang lebih formal, seperti melalui bukti tertulis atau digital. Namun, di masyarakat adat atau pasar tradisional, praktik transaksi tunai dan langsung tetap menjadi norma. Hal ini juga mencerminkan kesederhanaan masyarakat dalam menyelesaikan perjanjian secara cepat dan jelas.

c) Terbuka dan Sederhana

Sifat terbuka hukum adat masih relevan, misalnya dalam penyesuaian tradisi adat dengan norma hukum positif atau agama tertentu. Di masyarakat modern, sifat sederhana tampak dalam interaksi informal, seperti pemberian kepercayaan dalam jual-beli kecil tanpa dokumen. Namun, modernitas juga membawa kebutuhan administrasi formal dalam aspek tertentu seperti pernikahan atau warisan.

d) Ciri Musyawarah dan Mufakat

Tradisi musyawarah tetap hidup di tingkat komunitas seperti dalam rapat RT/RW atau musyawarah desa. Dalam organisasi modern, pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat sering digunakan sebelum mempertimbangkan voting. Nilai ini juga tercermin dalam proses hukum adat untuk menyelesaikan konflik secara damai.

 

Berikut beberapa daerah di Indonesia yang masih memegang teguh hukum adat sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mereka, yaitu ada:

a) Kalimantan

Suku Dayak di Kalimantan masih mempertahankan hukum adat mereka, termasuk dalam pengelolaan tanah adat (hutan) dan ritual-ritual tradisional yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Hukum adat sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa di antara anggota komunitas.

b) Toraja (Sulawesi Selatan)

Di Tana Toraja, hukum adat sangat erat dengan tradisi, terutama dalam sistem pewarisan dan ritual Rambu Solo' (upacara kematian) yang memiliki peraturan adat yang wajib diikuti oleh semua anggota masyarakat.

c) Bali

Masyarakat Bali sangat menghormati hukum adat melalui Desa Pakraman (desa adat). Hukum adat Bali banyak diterapkan dalam pengelolaan lahan, pernikahan, upacara keagamaan, dan penyelesaian konflik. Adat ini berakar pada ajaran Hindu yang diselaraskan dengan budaya lokal.

d) Aceh

Di Aceh, adat dilestarikan melalui penerapan Syariat Islam yang berpadu dengan hukum adat lokal, seperti lembaga Mukim dan Keuchik yang berfungsi sebagai pengatur kehidupan sosial masyarakat, termasuk hukum waris, pernikahan, dan penyelesaian konflik.

e) Nusa Tenggara Timur (NTT)

Di wilayah seperti Sumba dan Flores, masyarakat adat mempertahankan tradisi adat seperti Marapu (kepercayaan tradisional) yang mencakup pengaturan hubungan sosial, pernikahan, dan pengelolaan tanah adat.

f) Sumatera Barat

Masyarakat Minangkabau terkenal dengan adatnya yang berpegang pada prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Sistem kekerabatan matrilineal dan hukum adat dalam pengelolaan harta pusaka dan tanah ulayat masih dijunjung tinggi di wilayah ini.

g) Papua

Di Papua, hukum adat memainkan peran sentral dalam pengelolaan sumber daya alam, hak ulayat, dan penyelesaian sengketa. Suku-suku seperti Dani dan Asmat memiliki aturan adat yang ketat terkait kehidupan sosial dan lingkungan.

 

Referensi:

a)      Marhaeni Ria Siombo, H. W. (2024). Hukum Adat. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.

b)      Sulistiani, S. L. (2021). HUKUM ADAT DI INDONESIA. Jakarta Timur: Sinar Grafika.


Komentar