Berikut merupakan pengertian hukum waris berdasarkan
tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hukum adat, hukum perdata/
barat, dan hukum islam.
1) Hukum Waris Adat
Hukum waris adat menurut Ter Haar adalah:
"aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud
dari generasi pada generasi (Hadikusuma, 1996)".
Menurut Wignyodipoero: "Hukum adat waris meliputi
norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang
immateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada
keturunannya, serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses
peralihannya (Wignyodpoero, 1995)".
Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
Hukum Waris Adat merupakan pengaturan tata cara penerusan dan pengalihan harta
kekayaan dari pewaris yang masih hidup atau yang sudah meninggal kepada ahli
warisnya yang berlaku dikalangan masyarakat adat Indonesia, dan hukum waris
adat memiliki sifat yang beragam sesuai dengan adat dan budaya daerah
masing-masing.
Pada prinsipnya, hukum waris adat bertujuan untuk
menjaga kelangsungan keluarga dan komunitas adat, sering kali memprioritaskan
ahli waris tertentu yang diharapkan dapat melestarikan harta warisan sesuai
tradisi. Di beberapa masyarakat, seperti adat Minangkabau, berlaku sistem
matrilineal di mana harta diwariskan melalui garis ibu, sementara di daerah
lain seperti Bali, berlaku sistem patrilineal.
2) Hukum Waris Perdata/Barat
Pengertian hukum waris dalam KUHPerdata, menurut
Wirjono adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup. Dengan demikian, hukum waris
perdata/barat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata (BW), menekankan adanya
kematian seseorang, adanya ahli waris dan adanya kebendaan yang ditinggalkan.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), Hukum waris Perdata/Barat mengatur pembagian harta berdasarkan
kekerabatan dalam keluarga. Dalam hukum perdata, ada dua jalur pewarisan utama,
yakni pewarisan berdasarkan hukum dan pewarisan berdasarkan surat wasiat.
Berdasarkan KUHPerdata, pewarisan lebih bersifat individualistis, di mana ahli
waris menerima bagiannya secara pribadi, tanpa harus mempertimbangkan ketentuan
adat atau agama.
3) Hukum Waris Islam
Istilah lain dari hukun aris di dalam islam adalah
hukum faraid yang berasal shighat jamak dari lafaz fari'dhah yang bermakna
bagian. Dalam kitab Syamsul bahri Salihima, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa
faraid berasal dari lafaz fardh yang berarti ketentuan atau taqdir. Secara
istilah syarak, furdh ialah bagian yang telah ditetapkan untuk ahli waris,
sedangkan ilmu yang menjelaskannya disebut dengan ilmu faraid (ilmu waris).
Sedangkan menurut Muhammad Asy-Syarbini, imu waris adalah Ilmu yang menjelaskan
tentang hal-hal vang berhubungan dengan pembagian harta peninggalan mayit
(tirkah), cara atau metode penghitungan, dan bagian-bagian para ahli waris (Ria
& Zultikar. 2018).
Secara etimologi, istilah waris yang ada dalam hukum
waris Islam, berasal dari bahasa Arab yang diambil alih menjadi bahasa
Indonesia, yaitu berasal dari kata "warisa", artinya mempusakai
harta, "waris, artinya ahli waris". Jadi, pengertian warıs yang
sebenarnya adalah orang yang menerima atau mempusakai harta dari orang yang
teiah meninggal dunia.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
Hukum waris Islam atau faraid mengatur pembagian warisan berdasarkan ajaran
Islam yang diatur dalam Al-Qur'an, Hadis, dan yurisprudensi Islam. Pembagian
warisan dalam hukum Islam memiliki ketentuan yang jelas mengenai bagian untuk
setiap ahli waris seperti anak laki-laki, anak perempuan, istri, suami, orang
tua, dan saudara, di mana setiap ahli waris mendapatkan bagiannya secara
spesifik. Dalam praktiknya, hukum waris Islam bertujuan untuk menjamin kesejahteraan
anggota keluarga yang ditinggalkan dan mencegah ketidakadilan dalam pembagian
warisan.
Indonesia sebagai negara majemuk menerapkan ketiga
jenis hukum waris ini untuk mengakomodasi keragaman budaya dan agama. Pemilihan
sistem waris yang digunakan biasanya tergantung pada preferensi keluarga yang
bersangkutan, atau sesuai hukum yang berlaku pada komunitas atau agama mereka.
Referensi:
- Kusumawati, L. (2011). Pengantar Hukum
Waris Perdata Barat. Surabaya: Laros.
- Marhaeni Ria Siombo, H. W. (2024). Hukum
Adat. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.
- Nugroho, S. S. (2016). Hukum Waris Adat di
Indonesia. Solo: Pustaka iltizam.
- Siti Hamidah, R. S. (2021). Hukum Adat Islam. Malang: UB Press.
Komentar
Posting Komentar