Secara umum, hukum adalah sekumpulan peraturan atau
kaidah hukum yang dibuat oleh suatu negara atau lembaga berwenang yang
berisikan prenta-prenta atau larangan-larangan, bersifat memaksa dan memiliki
akibat hukum apabila dilanggar (sanksi).
Van Vollenhoven mengartikan delik adat lebih sederhana, yaitu sebagai perbuatan
yang tidak diperbolehkan. Hukum Adat Delik adalah suatu larangan yang akan
dihukum bagi yang melakukannya kerena mengganggu sebuah adat yang dimiliki
suatu golongan tertentu. Dasar hukum, hukum adat adalah norma-norma dan aturan
tidak tertulis yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat adat tertentu.
Hukum adat bersumber dari tradisi, kebiasaan, nilai, dan keyakinan lokal yang
diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga lebih bersifat dinamis dan
berbeda-beda antara satu komunitas dengan yang lain.
Sedangkan, Hukum Pidana dalam KUHP adalah produk hukum yang berlaku nasional
dan mengikat seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang adat atau komunitas
tertentu. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertulis yang disahkan oleh
pemerintah, yaitu KUHP.
Prinsip-prinsip dalam delik sangat berbeda sekali dengan prinsip-prinsip dalam
hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ringkasnya,
perbedaan itu adalah sebagai berikut :
a) Pada hukum delik adat aliran pikiran Indonesia di beberapa daerah seperti
Tanah Gayo, Minangkabau, Tapanuli, Nias, Sumsel, Kalimantan, Gorontalo, Ambon,
Bali, Lombok adalah seringkali terjadi bahwa kampung sipenjahat atau kampung
tempat terjadinya pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, diwajibkan
membayar denda atau kerugian kepada kerabat orang yang dibunuh atau yang
kecurian. Demikian pula, kerabat penjahat diharuskan menanggung hukuman yang
dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukuan oleh seorang warganya.
Sedangkan, menurut KUHP bahwa yang dapat dipidana hanyalah seorang manusia saja
(pelaku delik), persekutuan hukum Indonesia seperti desa, kerabat tidak
mempunyai tanggung jawab terhadap delik yang diperbuat oleh seorang warganya.
b) Pada hukum delik adat unsur kesalahan tidak menjadi syarat mutlak bahkan
tidak memerlukan pembuktian tentang adanya kesenjangan atau kekhilafan untuk
dapat dijatuhi hukuman. Misalnya sebuah kampung atau persekutuan famili harus
menanggung perbuatan seorang warganya yang melanggar hukum, tidak memperdulikan
apakah persekutuan tersebut mempunyai kesalahan atau tidak atas perbuatan itu.
Sedangkan, menurut KUHP seseorang hanya dapat dipidana apabila perbuatannya
dilakukan dengan sengaja ataupun dalam kekhilafan, pendek kata apabila ia
mempunya kesalahan.
c) Pada hukum delik adat tidak dibedakan antara pelaku pelanggaran/kejahatan
(dader yang turut melakukan (mededader), yang membantu melakukan (medeplichti
atau yang menghasut (uitlokker).
Sedangkan, dalam sistem KUHP dibedakan antara pelaku pelanggaran/kejahatan
(dader yang turut melakukan (mededader), yang membantu melakukan (medeplichti
atau yang menghasut (uitlokker).
d) Pada hukum delik adat suatu perbuatan delik dapat dihukum tidak tergantung
pada apakah ada peraturan mengenai hal itu yang telah ditetapkan lebih dahulu,
asal sudah telah mengganggu keseimbangan masyarakat, maka perbuatan itu sudah
bisa dihukum. Sanksi yang diberikan dalam hukum adat lebih bersifat restoratif
(memulihkan keseimbangan dan ketertiban masyarakat) daripada retributif
(memberikan hukuman sebagai balasan).
Sedangkan, menurut KUHP berlandaskan pada sistem prae existente regels, artinya
suatu perbuata tidak dianggap perbuatan pidana, apabila belum ada aturan yang
mengatur terlebih dahulu. Sanksi dalam KUHP bersifat retributif, yaitu hukuman
yang ditujukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
e) Pada hukum delik adat yang dipermasalahkan adalah perbuatan itu telah
mengganggu keseimbangan masyarakat dan siapa pun harus bertanggung jawab.
Bahkan dalam hukum adat, tidak hanya pelakunya yang bisa dimintai
pertanggungjawaban, tetapi juga keluarga atau kerabat dan atau kepala adatnya.
Sedangkan, dalam KUHP dilıhat dahulu apakah pelakunya (dader) dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apabila yang berbuat kejahatan adalah
orang gila maka dia tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya.
f) Pada hukum delik adat tidak menghukum orang yang mencoba melakukan suatu
delik. Karena perbuatan ini belum mengganggu keseimbangan masyarakat. Misalnya,
seseorang akan menembak orang lain dan tidak kena sasaran, maka dalam hukum
delik adat si pelaku tidak dihukum sebagai percobaan pembunuhan, tetapı bisa
dihukum karena melanggar ketentraman umum.
Sedangkan, dalam KUHP menetapkan "percobaan" sebagaı tindak pıdana.
g) Pada hukum delik adat berlakunya terbatas pada lingkungan masyarakat atad
daerah tertentu.
Sedangkan KUHP berlaku secara nasional.
h) Pada hukum delik adat bertujuan untuk menjaga keseimbangan sosial dan
ketertiban masyarakat adat, serta menjaga keharmonisan dan hubungan baik antar
anggota masyarakat. Penyelesaian masalah lebih mengedepankan musyawarah dan
mufakat untuk mencapai solusi yang adil bagi semua pihak.
Sedangkan, dalam KUHP tujuannya adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
sesuai dengan aturan yang berlaku secara nasional, serta memberikan efek jera
kepada pelaku dan mencegah tindak pidana serupa di masa depan.
i) Pada hukum delik adat sistem pembuktian bersifat lebih fleksibel dan
mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan budaya. Pembuktian dapat dilakukan
melalui saksi adat, pengakuan lisan, atau tanda-tanda yang dianggap relevan
menurut kepercayaan setempat.
Sedangkan dalam KUHP sistem pembuktian diatur secara ketat melalui peraturan
perundang-undangan, di mana alat bukti yang digunakan harus memenuhi syarat
yang diatur oleh KUHP dan hukum acara pidana, seperti bukti surat, saksi,
keterangan ahli, atau petunjuk.
Perbedaan ini menggambarkan bagaimana hukum adat dan hukum pidana modern di Indonesia
memiliki ciri khas yang berbeda dalam hal pendekatan terhadap keadilan dan
penyelesaian konflik.
Referensi:
·
Marhaeni Ria Siombo, H. W. (2024). Hukum
Adat. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.
·
Aditya Bakti, (2010). Sistem Hukum Adat di
Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
·
Mujib, M. M. (2013).
·
Eksistensi Delik Adat dalam Kontestasi
Hukum Pidana Indonesia, 476-500.
Komentar
Posting Komentar